Jumat, 02 Maret 2012

TANPA NAMA

Negara ini telah terkapar. Tidak usah berpura-pura mengatakan bahwa kita akan bisa berdiri tegak lagi. Tidak usah menutupinya dengan topeng-topeng nujum dari masa silam tentang masa gemilang yang akan datang. Apalagi berharap bahwa generasi yang akan datang akan mengoreksi kesalahan di masa sekarang. Tidak, semua sudah nyata tampak akan segera berakhir. Negara kita seperti kupu-kupu yang sekarat. Di sekelilingnya semut-semut berlomba mencabik anggota tubuhnya. Kita hidup dalam perlombaan berkepanjangan, ya, tentu saja kita bangsa yang kompetitif.


Dengan semangat tinggi berlomba merampok semua yang tersisa. Tentu saja kita bukan bangsa pemalas, kita sangat rajin menghancurkan setiap harapan yang dibangun susah payah. Dan kita juga tidak lupa dengan semangat gotong royong, kerja bakti bagi proyek dengan komisi dibawa lari keluar negeri. Ketika semua hal baik telah dikorupsi dengan tindakan nyata maka kita menjadi bangsa tanpa jiwa. Konstitusi hanyalah dalih untuk membenarkan kejahatan yang terjadi. Kita harus melepaskan diri.
Saya membayangkan nama yang hilang. Sebuah nama yang selama lebih dari enam puluh tahun menjadi pembenaran dari pembunuhan, perampokan dan kebohongan. Nama dengan beragam sinonim berisi puja puji yang menjengkelkan. Sebuah nama yang menjadi “atas nama” dari segala peristiwa yang semakin lama semakin kita tidak pahami. Nama ini bukan sesuatu yang romantis, bukan temuan “bangsa” kita apalagi warisan nenek moyang yang tidak pernah ada. Nama ini hanyalah sebuah istilah yang memudahkan dalam peta kolonial. Tidak begitu istimewa, hanya dua frasa yang digabungkan menjadi satu kata. Tidak usah terlalu sentimentil, perlahan-lahan kita hilangkan dari buku sejarah. Dan mungkin bila perlu dalam tempo cepat kita copot dari semua plang dan papan nama. Nama ini hanyalah ilusi dari sebuah komunitas bayangan. Tanpa nama, kita bukan lagi kumpulan siapa-siapa, hanya manusia-manusia yang terlahir di tempat yang tidak berjauhan.
Saya menginginkan kota-kota yang hilang. Suatu ranah yang terbiasa mengirim tentara bayaran keluar pulau. Suatu tempat berisi meja-meja yang dipenuhi oleh lembaran kertas yang siap ditandatangani untuk perampokan alam tiada henti, untuk pembunuhan atas nama investasi, untuk perdagangan suara atas nama demokrasi dan untuk semua kejahatan yang bahkan tidak bisa dihentikan oleh setan. Kota-kota yang berisi orang pintar dengan otak kotor. Kota-kota yang dibangun oleh bajingan-bajingan penuh balas dendam dengan masa lalunya yang tidak sempurna. Sebuah kota yang menjadi sarang dari kartel politik, gembong dari semua kekacauan yang terjadi. Kota-kota ini bukan milik kita, jangan pura-pura punya ikatan dengannya. Monumen, gedung dan jalan-jalan hanya akan berakhir sebagai memori singkat dalam pikiran kita. Setiap upaya menghubungkan “kita” dengan “kota” hanya akan berakhir sebagai tindakan konsumsi. Lebih baik kita membuka ladang koka, poppy dan ganja ; dari batas desa kita menghancurkan kota bersama-sama.
Saya memimpikan sebuah generasi yang hilang. Suatu generasi yang tidak berhamba kepada yang tua dan tidak beranak kepada yang muda. Sebuah generasi sunyi yang berjalan dengan caranya sendiri. Kita tidak perlu mendengarkan mulut bawel mereka, generasi pikun yang masih cerewet sambil kencing di celana. Maniak-maniak eksibisionis yang sejak dulu kala cuma belajar bicara tetapi tidak pernah paham cara bertindak. Bayangkan kesunyian tanpa mereka yang suka mengutip kuplet dari luar sana. Idamkanlah dirimu sendiri yang hanya berpikir tentang hari ini dan percaya esok belum tentu ada. Camkanlah bahwa yang bisa dilakukan pada hari ini hanyalah menuntaskan semuanya sehingga tiada masalah pada esok yang belum tentu ada. Sebab disini kita terbiasa hidup dalam dalih untuk tidak bertanggung jawab, bahwa esok masih ada untuk memperbaiki segalanya. Karena disini kita percaya pada nujum seorang perempuan pingitan bahwa habis gelap terbitlah terang. Kesadaran palsu yang berangkat dari asumsi-asumsi hukum alam yang tidak pasti. Yang terbaik saat ini, berhentilah berharap bahwa mentari akan selalu membantu kita memerangi gelap. Kita hidup bukan untuk dikenang.
Dan saya berdoa untuk desa-desa kita yang terlupakan. Kampung-kampung yang dipetakan tiada mampu memberi banyak ke kota sehingga dilupakan begitu saja. Pada setiap lembah yang berkabut, pada setiap pesisir bercadas karang, pada setiap gunung dan perbukitan tanpa jalanan dan pada setiap hati yang percaya bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan alam. Desa-desa yang masih punya jiwa yang diisi oleh manusia merdeka. Tidak diperbudak oleh kekuasaan apalagi keserakahan sendiri. Desa-desa yang mendefinisikan demokrasi dengan cara mereka sendiri, tanpa teksbook apalagi survei politik. Desa-desa yang karena kepentingan satu sama lain berhimpun dalam satu induk kecamatan. Sebuah kecamatan mandiri yang tentu juga mendefiniskan pemerintahan dengan cara mereka sendiri. Dan himpunan dari kecamatan dengan kekuasaan yang menghamba kepada kepentingan masyarakat akan membentuk sebuah kabupaten yang kokoh, bukan sarang dari kroni keluarga. Di wilayah tanpa nama, dengan kota yang tiada dan generasi yang hilang kita bisa bikin konsensus baru. Sebuah kesepakatan yang berasal dari kehendak desa-desa untuk bernegara. Di atas puing-puing masa lalu kita bersepakat untuk hidup pada hari ini tanpa menyisakan utang untuk masa depan. Soal nama, kita bisa pakai apa saja.

(www.itonesia.com/tanpanama)
 
;